cerpen, nopel, seni dan sastra
Jumat, 03 Agustus 2012
NYANYIAN CINTA
Rabu, 15 Februari 2012
Surat Buat Sakura
Surat Buat Sakura
Sigit Kurniawan
AWAL April ini aku masih berada di Tokyo. Aku sengaja duduk-duduk di taman kota dan menulis surat. Langit kota cukup bersih. Angin sore mengayun-ayun ranting pohon Sakura sehingga bunga-bunga warna merah jambu itu berterbangan. Bunga ini bertebaran di mana-mana, mulai taman-taman kota, halaman kuil, hingga kanan-kiri jalan. Beberapa bunga jatuh terkulai lemas di atas kertas suratku. Siluet sore terbentuk saat sinar matahari Barat menerpa kuil-kuil kuno Jepang, tak jauh dari tempatku. Jepang baru saja mengalami pergantian musim, dari musim dingin ke musim semi. Inilah semi di Negeri Matahari Terbit yang amat memesona.
Tumben aku menulis surat. Aku juga heran. Sudah hampir sepuluh tahun aku tidak menulis surat. Apalagi dengan pulpen dan kertas. Sebenarnya aku bisa saja menuliskannya melalui surat elektronik di internet atau sekadar mengirim pesan pendek melalui ponselku. Tapi, aku benar-benar ingin menulis surat dengan cara tradisional ini. Memang, di jaman kontemporer ini, semua bisa dilakukan dengan serba mudah dan cepat. Pesan bisa dikirim saat ini juga ke tempat yang jauh sekalipun. Ruang dan waktu benar-benar dimampatkan. Tapi, aku ingin sekali menulis surat dengan cara ini. Justru aku ingin mengembalikan ruang dan waktu ini saling tergantung sama lain. Ah, ini alasan yang mengada-ada. Yang jelas, aku ingin menulis surat buat sahabatku. Semenjak Tokyo bermandikan bunga-bunga Sakura, aku merindukan seorang sahabat. Aku kangen sekali. Dan aku ingin membunuh rasa kangen itu dengan menulis surat.
Angin sore itu terasa makin kencang. Orang masih lalu lalang di sekitar taman kota. Sementara, berkali-kali bunga-bunga yang tergeletak di pelataran terserak ke sana-kemari disapu angin. Dan aku masih menulis surat.
Aku menulis surat untuk seorang sahabatku yang ada di Jakarta. Namanya persis seperti bunga kebanggan masyarakat Jepang ini, Sakura. Sudah hampir satu tahun aku tidak menjumpai sosoknya sejak aku mendapat beasiswa S2 dan kuliah di Universitas Jepang. Tahun lalu, Pemerintah Jepang menyediakan beasiswa Monbusho pada orang-orang Indonesia. Aku adalah termasuk orang yang beruntung. Aku lolos dalam seleksi program beasiswa itu. Di tengah biaya pendidikan di Tanah Air yang makin tinggi, justru aku bisa mengenyam pendidikan di luar negeri dengan gratis. Di sini, aku sudah dapat tiket pesawat keberangkatan, uang kuliah, apartemen, dan uang beasiswa bulanan sebesar 120.000 yen. Aku senang kuliah di sini, lebih-lebih aku menyukai bidang studinya, yakni social science.
Beasiswa inilah yang memisahkan diriku dengan Sakura. Kami sudah berteman sejak kita kuliah di satu kampus di Depok. Aku kakak kelasnya satu tahun. Aku masuk jurusan filsafat dan dia mengambil jurusan antropologi. Dua bidang studi yang jarang dilirik dan diminati para mahasiswa. Kata orang, kedua jurusan itu tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Mendingan kuliah di fakultas ekonomi. Toh, ekonomi menjadi sesuatu yang fundamental di arus perekonomian global saat ini. Apalagi filsafat terkesan ilmu mengawang-awang. Sebagian menilai jurusan filsafat adalah tempat buangan mahasiswa yang kepandaiannya rata-rata. Sebagian menganggap kelas filsafat sebagai kumpulan orang-orang gila yang ingin lari dari kenyataan hidup. Ah, peduli amat dengan itu.
Relasi kami berdua semakin dekat lantaran kami suka mengadakan diskusi bulanan di wisma mahasiswa. Lagi-lagi, kegiatan yang tidak disukai mahasiswa. Bahkan, dia sendiri yang mempromosikan diskusi bulanan itu di seantero kampus. Temperamennya keras, tepatnya pekerja keras. Memang sih, dia suka marah bila ada yang tidak disiplin atau aku tidak menepati janji padanya. Ah, dia lebih tepat sebagai seorang prefeksionis. Segala sesuatu ingin ia kerjakan dengan sempurna. Single fighter. Nol kesalahan. Ia seperti orang yang dididik dalam kehidupan yang keras. Tak hanya itu, semangat belajarnya luar biasa. Inilah yang membuatku semakin lama semakin dekat dengan dirinya.
Obrolan demi obrolan semakin membuat kami seperti sepasang kekasih. Tapi, kami tidak pernah pacaran. Tidak ada kata-kata cinta yang terlempar dari mulut kami. Dan tidak ada niat sama sekali untuk berpacaran. Tapi, orang-orang kampus mengira kami berpacaran. Setiap kami bertemu dan berduaan di tepi danau di dalam pekarangan kampus, orang mengira kami pacaran. Setiap kami berduaan di sebuah kedai kopi dan ditemani capuccino kesukaan kami, orang mengira kami berpacaran. Padahal, kami lagi mengobrol tentang hidup. Tentang dunia, tentang realitas, tentang perang, tentang terorisme, tentang kapitalisme, tentang Tuhan, tentang nasib, tentang secangkir cappucinno, tentang senja, dan sebagainya. Kami senantiasa mengobrolkan apa saja yang sudah kami peroleh dari bangku kuliah dan membaca buku. Kami ingin membuat semuanya menjadi jelas, sejelas bintang-bintang yang terpaku di dinding langit.
Orang lain sering menilai obrolan kami berat. O, aku tahu sekarang. Karena itu, orang enggan bergabung dengan kami. Entah dalam diskusi di wisma mahasiswa, di tepi danau, maupun di kedai kopi. Makanya, kami sering tampak berduaan. Padahal, kami selalu welcome pada siapa saja. Yah, demikianlah kami. Obrolan-obrolan kami semakin mendekatkan kami. Tapi, kami tidak berpacaran karena kami juga tidak ada niat untuk berpacaran. Kami juga bukan penjelmaan sepasang cinta filsuf Martin Heidegger dan Hanah Arendt seperti dikatakan seorang kawan dalam ledekannya. Kami bukan lakon dari bukunya Elzbietta Ettinger tentang perselingkuhan dua pemikir raksasa itu.
Arendt, seorang mahasiswi berumur belasan tahun terkagum-kagum pada seorang profesornya bernama Heidegger. Ia dijuluki Sang Penyihir dari Messkirch karena gaya mengajarnya yang memukau. Sang Profesor pun tersihir oleh kepandaian Arendt. Relasi cinta yang tebalut rapi dalam diskusi-diskusi akademis itu berpuncak pada apa yang disebut orang perselingkuhan. Uh, inilah ejekan buat aku dan Sakura. Keberduaan kami sering diledek dengan menyamakan kami dengan pasangan kekasih filsuf itu. Yang jelas, kami bukan Heidegger-Arendt karena kami tidak berselingkuh. Kami tidak pernah berpacaran.
Masing-masing dari kami juga tidak memunyai pacar. Nah, bagaimana kami bisa berselingkuh? Ha ha, sebuah ejekan yang tidak berdasar. Tak jarang, orang sering buru-buru menyimpulkan berdasarkan sampul dan permukaannya saja.
Bunga-bunga Sakura tidak berhenti berjatuhan dari langit. Keabadian dan rahmat seakan dicurahkan saat itu juga. Aku masih melanjutkan menulis suratku. Apa yang kutulis ini terpacu oleh obrolan siang hari di sebuah kedai kopi di daerah Warung Buncit, Jakarta Selatan tahun lalu. Ingatan ini muncul saat mata kepala dan mata hatiku melihat hujan bunga Sakura di musim semi ini.
WAKTU itu, kami berbicara agak personal. Tentang keluarga. Kami mengawalinya dengan perbincangan tentang arti sebuah nama dan mengapa orangtua memberi nama seperti yang kami kenakan sampai sekarang. Pada momen inilah, aku baru tahu apa arti Sakura. Mulai saat itu juga, aku tahu bahwa sahabatku ini sedang mengalami pergulatan. Ia mencari ibunya yang raib ditelan waktu.
Sakura lahir dari pasangan beda Negara. Ayahnya berasal dari Solo, Jawa Tengah dan ibunya berasal dari wilayah dekat bandara Narita, Jepang. Ibunya meninggal saat melahirkan bayi Sakura. Ayahnya kemudian menamainya Sakura karena ia lahir bulan Maret, bulan di mana bunga Sakura di Jepang sedang bersemi. Selain itu, nama ‘Sakura’ diberi untuk mengenang istrinya yang juga manyandang nama Sakura. Dari rahim Sakura lahirlah Sakura. Sayangnya, ibu Sakura tidak bisa melihat Sakura yang sudah mekar di usia dewasanya. Dan Sakura sekarang belum pernah merasakan pelukan, air susu, dan ciuman dari Sakura yang melahirkannya.
“Mengapa aku tidak pernah melihat ibuku? Aku tidak lahir dari ketiadaan. Ibuku ada dan kemudian aku ada. Aku juga dilahirkan bukan tanpa dikehendaki. Tapi, aku tidak pernah diajak kompromi kalau aku dilahirkan. Aku lahir bebas dari ketidakbebasan. Aku begitu saja dilemparkan dan terpelanting di bumi. Tanpa pernah melihat wajah si empunya rahim yang melahirkanku. Tanpa mendengar dengus napasnya saat ia menimangku,” kata Sakura saat itu.
Aku hanya bisa diam. Membiarkan dirinya bermonolog dengan dirinya sendiri dalam balutan sunyi. Aku mematung untuk sementara waktu.
“Aku yakin, ibuku sebenarnya tidak pernah mati. Ia juga lahir bukan dari ketiadaan. Ia ada dan ada itu abadi. Entah kapan, pasti aku akan menemui orang yang memunyai rahim tempat aku dilahirkan,” kata Sakura.
Nah, kata-kata itulah yang mendorong aku ingin menulis surat padanya di musim semi ini. Tiga hari lalu, aku menjumpai ibunya duduk di bawah pohon Sakura di Taman Inogashira, Kota Musashino. Benar kata Sakura, ibunya tidak mati. Tiga hari lalu aku menjumpainya. Ini bukan mimpi. Bukan pula fatamorgana.
Perempuan itu amat cantik. Putih. Anggun. Tubuh moleknya dibalut kimono putih yang disebut Shiromuku, artinya suci. Rambutnya disanggul dan dihiasi dengan pernak-pernik perhiasan. Kepalanya ditutupi Kakushi, kerudung putih. Dilihat dari sosoknya, dia berumur sekitar 40 tahunan. Saat kutatap wajahnya, aku merasa sudah sangat familiar. Ya, wajah itu pernah kulihat di foto yang senantiasa ditaruh di dompetnya Sakura.
“Ohayo-Gozaimasu,” sapaan pagiku padanya sambil mendekat. Ia diam. Aku ulangi memberi salam. Perempuan itu diam saja. Sesekali bunga-bunga Sakura menghamburkan diri ke tubuh molek itu. Mengelus pelan. Tapi, ia tetap tidak bergeming. Tak lama, suara isak pecah dari bibir merahnya. Jeda pun raib. Aku mendekat. Leleran air bening dari dua bola matanya itu menyisakan jejak di pipi lesungnya yang diolesi make-up.
“Mengapa ibu menangis?” tanyaku.
Perempuan itu diam saja. Tangannya terus mengusap matanya dengan sapu tangan warna kuning. Aku bingung. Aku melihat wajahnya seolah terbalut duka yang dalam. Bunga-bunga sakura masih setia mengusap-usap tubuhnya sebelum terkulai lemah di tanah.
“Ada yang bisa aku bantu?” Perempuan itu mengangkat kepala. Ia mendengar ucapanku. Matanya yang becek memandangiku lemah. “Aku mencari anakku. Anakku sudah lama hilang. Aku ingin sekali menggendongnya. Menimangnya tiap malam. Menyusuinya di kala haus. Aku mencari anakku. Puluhan tahun aku mencarinya,” katanya.
Aku setia mendengarkan. Mereka-reka apa yang ia maksud. “Dua puluh tahun silam, aku melahirkan bayi perempuan. Tapi, malam telah merenggut kebahagiaanku. Sembilan bulan sepuluh hari, aku menantinya. Tapi, malam itu sangat kejam. Ia menunjukkan cakar dan moncongnya. Sungguh mengerikan. Ia telah merebut bayiku. Malam telah memisahkanku dari buah cintaku. Aku meronta, tapi tidak ada yang menolong. Aku teriak tapi tidak ada yang mendengar. Semua bisu. Semua tertunduk lesu. Seorang menggendong bayiku dengan air mata berleleran di pipi. Seorang perawat berpakaian putih menutupi tubuhku dengan kain seprei. Semua terdiam. Dan malam telah memisahkan aku dengan anakku. Wajah suamiku tampak pucat pasi. Aku dengar suara keluar dari mulut lelaki yang aku cintai itu menyebut namaku: Sakura. Ia terus-menyebut namaku. Dan ia pun menamai bayi itu dengan namaku. Tapi, di mana anakku. Malam itu betul-betul jahanam,” kata perempuan itu sambil tersedu.
Aku semakin tak mengerti dengan apa yang aku lihat. Dia menyebut nama Sakura temanku. Ia mencari anaknya yang bernama Sakura. Sakura pernah bercerita bahwa ia memunyai ibu bernama Sakura. Ibunya sudah meninggal saat ia dilahirkan. Benarkah perempuan di bawah pohon sakura itu adalah ibunya. Dan kawanku yang ada di Jakarta itu adalah anaknya?
Aku sempat menanyakan peristiwa unik pada orangtua di sana. Katanya, musim semi bunga Sakura adalah musim keramat bagi masyarakat Jepang. Di musim semi itu, cinta yang berbajukan keabadian itu akan diturunkan di bumi Matahari Terbit. Cinta yang abadi turun bersama Sakura yang tidak abadi. Namun, cinta yang abadi itu telah mengubah Sakura menjadi abadi.
Lalu, siapa perempuan berkimono putih dan duduk di bawah pohon Sakura itu? Kata orangtua, perempuan itu pencari cinta. Ia adalah roh yang haus akan cinta. Roh yang mengembara ke belantara alam raya untuk mendapatkan cintanya lagi. Ia bisa kelihatan hanya pada setiap musim semi Sakura tiba. Ia hadir bersama bunga-bunga Sakura. Ia bisa ditemui di bawah pohon Sakura di Musashino.
Ia terus tersedu sampai ia mendapatkan cintanya lagi. Dan ia akan abadi saat ia bertemu dengan buah cintanya. Keabadian tercipta saat Sakura berjumpa dengan Sakura di bawah pohon Sakura. Keabadian yang tidak akan hancur dan dihancurkan. Termasuk malam-malam jahanam.
Aku biarkan telingaku mendengar cerita dari orangtua itu. Dengan rendah hati, kutanggalkan sejenak pikiran-pikiran rasional. Aku mencoba mendengarkannya dengan hati. Ini bukan mimpi. Ini kenyataan. Hatiku kembali terangkat untuk segera menyelesaikan surat. Aku harus segera mengirim surat ini pada Sakura di Jakarta. Mengabarkan bahwa ibunya ada di Jepang. Dan ia bisa menemuinya setiap musim Sakura tiba.
Taman kota semakin sunyi. Desir angin semakin pelan. Lampu-lampu taman sudah mulai menyala. Malam sebentar lagi tiba. Masih tampak satu dua bunga sakura menjatuhi taman. Aku harus cepat-cepat menyelesaikan suratku.
STRATEGI MENULIS BUKU
STRATEGI MENULIS BUKU
Naning Pranoto
“…saya dengar ada yang mengeluh, menulis itu pekerjaan berat. Tetapi menulis adalah kesenangan terbesar dalam hidup saya dan itu hanya kematian yang dapat mengakhirimnya.”
(Ernest Hemingway)
Pengantar
Menulis buku yang ideal adalah bila hal itu dilakukan karena murni dorongan kata hati. Maksudnya, menulis buku bukan karena dipaksa oleh pihak-pihak tertentu di bawah ancaman atau karena terpaksa menjalankan tugas untuk menghindari suatu sanksi (tidak mendapat gelar) dan semacamnya. Bila keterpaksaan itu terjadi, maka buku yang ditulisnya dapat dipastikan kualitasnya diragukan. Baik itu kualitas cara penulisannya maupun isinya karena tidak dilandasi spirit, visi, misi dan tanggung-jawab moral.
Idealnya, buku yang baik (apa pun jenisnya fiksi maupun non fiksi) seharusnya mengandung nilai-nilai luhur, bervisi dan bermisi yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral atau akademis sehingga bermanfaat bagi pembacanya. Manfaat itu antara lain meliputi: pengembangan wawasan, pengkayaan buah pikiran, memberi inspirasi dan motivasi hal-hal positif/untuk kemajuan, memancing opini (yang bersifat meningkatkan IQ) dan mengasah kepekaan (EI) atau paling tidak memberi hiburan yang sehat. Oleh karena itu, untuk bisa menulis buku ideal perlu berbagai pembekalan materi yang memadai(sesuai dengan tujuannya), pemikiran dan analisis yang dalam, konsentrasi khusus pada saat menulis dan tahu kemana saja arahnya buku yang ditulis tersebut disebarluaskan.
Buku, selain merupakan produk ilmiah, juga produk industri. Karena itu, buku harus dirancang agar punya pasar yang baik, mulai dari bentuk fisik, bahasa dan isinya.
Mulai Dengan Berbagai Pertanyaan
Cikal bakal buku adalah kitab-kitab yang menjadi sumber ajaran agama, moral dan pengetahuan bagi manusia, antara lain Al-Qur’an, Al Kitab dan Wedha. Semuanya ditulis dengan bahasa yang sangat indah dan sarat makna, seindah dan penuh makna isi yang ada di dalamnya. Karena kita tahu, buku-buku tersebut adalah karya Yang Maha Kuasa dan MahaAgung.
Dalam perkembangannya, manusia mampu menulis buku, diperkirakan sejak tahun 3000 Sebelum Masehi. Buku yang ditulisnya antara lain berisi mantera dan semacam obat atau jamu untuk keselamatan dan kesehatan, ilmu alam/ilmu bumi untuk kenyamanan dan pertahanan hidup serta serba-serbi boga termasuk aphrodisiac (perangsang nafsu birahi) untuk kesenangan dan kenikmatan. Kemudian berkembang, penulisan buku menjadi meningkat ragamnya, sesuai dengan perkembangan zaman yaitu di bidang matematika, fisika, sejarah serta sastra (sastra yang semula dilisankan kemudian ditulis). Yang jelas, semuanya itu dianggap sebagai sumber berbagai ilmu pengetahuan karena penulisnya memang bervisi dan bermisi demikian. Maka muncullah pepatah, buku gudangnya ilmu, buku jendela dunia.
Berdasarkan fakta tersebut di atas, maka siapa pun yang akan menulis buku, sebaiknya bertindak arif. Yaitu, sebelum menulis buku mulailah dengan pertanyaan dan jawab lah pertanyaaan yang ada dengan jujur. Maka jawaban-jawaban tersebut akan menentukan buku yang akan kita tulis.
Pertanyaan-pertanyaan yang dimaksud antara lain:
1.Mengapa kita menulis buku?
2.Untuk siapa (pembaca) buku yang akan kita tulis?
3.Jenis buku apa yang akan kita tulis?
4.Berapa lama kita akan menulis (target waktu)?
5.Seperti apa perwajahan, tata-letak dan penampilan buku?
6.Penerbit mana yang kiranya akan jadi mitra kita (mau menerbitkan karya kita)?
7.Kegiatan apa saja yang akan dilakukan untuk memasarkan dan mempromosikan buku yang akan terbit?
8.Acara peluncuran seperti apa untuk ‘merayakan’ terbitkanya buku?
Semua pertanyaan tersebut perlu dijawab dengan seksama, jujur dilandasi pertimbangan pemikiran bahwa apa yang kita inginkan (menulis) buku harus tercapai dan buku tersebut dibaca oleh pembaca yang kita targetkan. Artinya, naskah yang kita tulis diterbitkan menjadi buku, kemudian didistribusikan dengan baik disertai pemasaran dan promosi yang memadai. Paling tidak, pada saat buku terbit diadakan acara peluncuran. Sehingga buku kita bisa sampai ke sasarannya seperti apa yang kita harapkan. Karena dalam kenyataannya (berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya), tidak semua buku yang telah diterbitkan (walau bagus) dipasarkan dan dipromosikan oleh penerbitnya. yang memadai. Bahkan tidak ada acara peluncuran, sehingga buku yang berkualitas baik pun menjadi kurang dikenal atau bahkan tidak diketahui oleh pembaca sama sekali. Ini jelas, mengakibatkan kekecewaan kita sebagai penulis.
Jalan keluarnya, untuk mengatasi timbulnya kekecewaan tersebut, penulis buku Change – Rheinald Kasali memberi tips bahwa penulis harus mampu mempromosikan karyanya melalui berbagai acara yang diciptakannya sendiri. Misalnya, berusaha meluncurkan buku (atas biaya sendiri atau bekerjasama dengan sponsor), menyelenggarakan temu pembaca, seminar, siaran di radio dan sebagainya. Dengan demikian, bukunya dapat dibaca oleh pembaca yang ditargetkan oleh si penulis. Dari berbagai kegiatan ini penulis akan mendapat kepuasan, paling tidak secara batin dan apalagi kalau mendapat uang.
Dari Percept ke Concept dan Menjadi Text
Buku apa pun yang kita tulis, yang benar adalah bermula dari idea, menjadi percept (anggapan/pendapat) lalu berkembang jadi concept diwujudkan menjadi text atau naskah. Semuanya itu dapat terwujud karena adanya media utama yaitu bahasa yang merupakan perpanjangan otak (buah pikiran) untuk menyampaikan atau mengekspresikan konsep menjadi tulisan/teks. Bahasa dalam konteks ini berfungsi sebagai alat komunikasi dan informasi, yang disebut bahasa kedua (bahasa pertama adalah bahasa lisan) – demikian pendapat Robert K. Logan, ahli bahasa dan ahli fisika dari Universitas Toronto – Kanada.
Sebagai bahasa kedua, media untuk menulis, maka bahasa yang kita pergunakan untuk menulis ada standard dan ketentuan-ketentuannya. Ini tergantung, jenis buku apa yang akan kita tulis: fiksi atau non-fiksi? Jenis tulisan fiksi bermacam-macam dari yang bernilai sastra hingga pop. Demikian juga tulisan non-fiksi, ada yang bersifat pop dan ilmiah pop maupun ilmiah murni. Jenis-jenis tulisan tersebut menggunakan media bahasa yang berbeda. Kunci utamanya, setiap penulis harus kaya akan kosa kata dan menguasai betul bahasa tersebut sehingga dalam proses menulis tidak mengalami hambatan.
Tahapan Penulisan dan Menjadi A Home Career Tahap ini merupakan proses kreatif dari seorang penulis. Kekreativannya dimulai dengan pada saat merencanakan menulis buku. Di AS maupun di Eropa pada saat ini, bila seseorang berniat menulis buku ditafsirkan akan menjalani kehidupan ‘sangat kreatif’ karena mampu:
•Bekerja di rumah
•Menjadi a home career (berkarir di rumah – biasanya orang berkarir selama ini identik dengan orang yang selalu sibuk di luar rumah)
•Menjadi direktur dan sekaligus manager bagi dirinya sendiri
•Bagi kaum muda masih bisa melanjutkan studinjya sebagai pelajar atau mahasiswa
•Memposisikan dirinya sebagai penulis profesional
•Mendulang uang dari buah kesendirian, mau berpikir dan memperkaya pengetahuan (membaca)
•Menjual ide melalui Strategic Thinking untuk menghadapi persaingan
Bukan bermakssud menyombongkan diri, saya telah menjalani hidup sebagai a home career sejak tahun 80-an, dengan menggantungkan matapencaharian dari menulis.
Apakah Anda juga mau memposisikan diri sebagai a home career dengan menulis buku? Bila jawabannya ‘yes’ atau masih ‘do not know’ - keduanya perlu mempersiapkan diri untuk menulis buku sebaik mungkin.
Berikut ini langkah-langkah persiapan untuk menulis buku:
1.Perencanaan
2.Persiapan materi
3.Proses penulisan
4.Editing (Penyuntingan): isi dan bahasa
5.Koreksi
Penjarannya:
menentukan jenis tulisan: Fiksi atauà•Perencanaan Non-fiksi
Fiksi bersumber dari imajinasi, pengamalamanà•Persiapan materi hidup, pengalaman orang lain yang memberi inspirasi, bacaan dan sebagainya. Non-fiksi materinya bersumber dari fakta (penelitian lapangan atau literatur, laporan ilmiah, peristiwa, eksperimen dan sebagainya)
•Proses menulis: sesuai dengan perencanaan semula.à-Penulisan Judul (Kepala Tulisan/Karangan) Judul penting, sebagai pedoman isi tulisan (kecuali fiksi, judul bisa diganti-ganti)
untuk buku ilmiahà-Penulisan Isi (Tubuh Tulisan/Karangan) (non-fiksi) diperlukan kelengkapan selain Daftar Isi juga: Sambutan, Kata Pengantar, Daftar Pustaka, Daftar Indeks, Catatan Kaki, Kolofon dan sebagainya (akan diberi contohnya)
Daftar Isi, Catatan Kaki (bilaà-Untuk buku fiksi perlu)
•Editing
editing ini sangat penting untuk mencapaià-Isi tulisan editing ini sangatàkualitas tulisan fiksi maupun non-fiksi -Editing bahasa penting sebab menentukan kualitas isi buku yaitu bahasa harus komunikatif, etis dan enak dibaca. Bahasa sebagai media untuk menulis buku juga memerlukan kelengkapan tanda baca yang tepat dan akurat.
semua naskah yangà•Koreksi akan diterbitkan menjadi buku memerlukan koreksi, tanpa kecuali. Kesalahan biasanya meliputi:
ini terjadi sejak tulisan masih berbentukà-Salah tulis naskah (kesalahan dilakukan oleh penulis)
ini terjadi dalamà-Salah cetak proses pencetakan (Bukan kesalahan penulis)
Pendalaman Tentang Teks
Teks atau text (dalam bahasa Inggris) berasal dari kata tekto (bahasa Yunani) yang berarti weaving (bahasa Inggris) yaitu menenun atau menganyam. Maka apa pun hasil karya tulis kita, makalah atau buku adalah merupakan teks.
1.Teks (karya tulis) bisa disebut teks apabila ia bisa dipahami oleh pembaca.
2.Teks bisa disebut teks apabila ia menyampaikan arti (makna) atau isi yang mengandung nilai-nilai (ilmiah atau sastra)
3.Teks harus disampaikan melalui bahasa. Karena itu penguasaan bahasa sangat menentukan arti teks yang kita tulis.
Teks-teks yang dimaksud tersebut tidaklah selalu murni dari pemikiran kita melainkan bisa saja diambil (dikutip) dari teks karya penulis di luar kita. Seperti dikatakan oleh Yulia Kristeva (filsuf, ahli teori bahasa, sastra dan psikoanalisa ) bahwa suatu teks itu merupakan mosaic dari teks-teks lainnya. Jadi sebuah teks itu tidak tertutup oleh system dan tidak berada dalam kesendirian. Maka bisa diragukan kebenarannya jika ada penulis yang mengatakan, “Tulisan saya asli pemikiran saya ….!” Padahal yang benar, ia terpengaruh oleh teks-teks yang pernah dibacanya. Pengaruh ini bukan berarti menjiplak atau meniru.
Berikut ini pengerian teks hubungannya dengan teks-teks lainnya:
1.Intertekstualitas adalah hubungan satu teks dengan teks lain.
2.Apa pun teks yang kita hasilkan, pastilah punya hubungan atau bersinggungan dengan teks karya orang lain (terdahulu).
3.Pada dasarnya selalu berlaku pepatah lama: Tak ada yang baru di bawah sinar matahari (nothing new under the sunshine)
4.Berkaitan dengan Butir 3, itu berarti bahwa teks yang Anda tulis selalu tidak lepas dari pemikiran orang lain.
5.Dalam penulisan ilmiah (academic writing), merujuk pendapat orang lain, memerlukan etika, dengan menyebut sumbernya.
6.Keterpengaruhan adalah salah satu bentuk intertekstualitas.
7.Contoh-contoh:
-Teks-teks karya ilmiah tentang filsafat:
TeksàPostmodernisme berkaitan dengan modernisme. -Psikologi Lacan (Jacques) berkaitan dengan teks Psikoanalisis Sigmund Frued.
à-Ekonomi Marxian berhubungan dengan karya Thomas Malthus, David Ricardo, Adam Smith dan sebagainya.
Karya Kenzaburo terkait dengan karya-karya J.P. Sartreà-Fiksi
Daftar Pustaka
Buku
Logan, Robert K, 1995. The Fifth Language. Toronto: Stoddart
Macey, David, 2001. The Penguin Dictionary of Critical Theory. England: Penguin Books
Mintzbergm, Henry, 1994. Rise and Fall of Strategic Planning. England: Free Press
Thompson, John.B, 2005. Filsafat Bahasa dan Hermeneutik (Penerjemah Dr. Abdullah Khozin Afandi). Surabaya: Visi Humanika.
Website
www.jjhome.com: How to Write A Book For Profit?
www.qm2management.com: Strategic Thinking