Rabu, 15 Februari 2012

Surat Buat Sakura

Surat Buat Sakura
Sigit Kurniawan

AWAL April ini aku masih berada di Tokyo. Aku sengaja duduk-duduk di taman kota dan menulis surat. Langit kota cukup bersih. Angin sore mengayun-ayun ranting pohon Sakura sehingga bunga-bunga warna merah jambu itu berterbangan. Bunga ini bertebaran di mana-mana, mulai taman-taman kota, halaman kuil, hingga kanan-kiri jalan. Beberapa bunga jatuh terkulai lemas di atas kertas suratku. Siluet sore terbentuk saat sinar matahari Barat menerpa kuil-kuil kuno Jepang, tak jauh dari tempatku. Jepang baru saja mengalami pergantian musim, dari musim dingin ke musim semi. Inilah semi di Negeri Matahari Terbit yang amat memesona.

Tumben aku menulis surat. Aku juga heran. Sudah hampir sepuluh tahun aku tidak menulis surat. Apalagi dengan pulpen dan kertas. Sebenarnya aku bisa saja menuliskannya melalui surat elektronik di internet atau sekadar mengirim pesan pendek melalui ponselku. Tapi, aku benar-benar ingin menulis surat dengan cara tradisional ini. Memang, di jaman kontemporer ini, semua bisa dilakukan dengan serba mudah dan cepat. Pesan bisa dikirim saat ini juga ke tempat yang jauh sekalipun. Ruang dan waktu benar-benar dimampatkan. Tapi, aku ingin sekali menulis surat dengan cara ini. Justru aku ingin mengembalikan ruang dan waktu ini saling tergantung sama lain. Ah, ini alasan yang mengada-ada. Yang jelas, aku ingin menulis surat buat sahabatku. Semenjak Tokyo bermandikan bunga-bunga Sakura, aku merindukan seorang sahabat. Aku kangen sekali. Dan aku ingin membunuh rasa kangen itu dengan menulis surat.

PhotobucketAngin sore itu terasa makin kencang. Orang masih lalu lalang di sekitar taman kota. Sementara, berkali-kali bunga-bunga yang tergeletak di pelataran terserak ke sana-kemari disapu angin. Dan aku masih menulis surat.

Aku menulis surat untuk seorang sahabatku yang ada di Jakarta. Namanya persis seperti bunga kebanggan masyarakat Jepang ini, Sakura. Sudah hampir satu tahun aku tidak menjumpai sosoknya sejak aku mendapat beasiswa S2 dan kuliah di Universitas Jepang. Tahun lalu, Pemerintah Jepang menyediakan beasiswa Monbusho pada orang-orang Indonesia. Aku adalah termasuk orang yang beruntung. Aku lolos dalam seleksi program beasiswa itu. Di tengah biaya pendidikan di Tanah Air yang makin tinggi, justru aku bisa mengenyam pendidikan di luar negeri dengan gratis. Di sini, aku sudah dapat tiket pesawat keberangkatan, uang kuliah, apartemen, dan uang beasiswa bulanan sebesar 120.000 yen. Aku senang kuliah di sini, lebih-lebih aku menyukai bidang studinya, yakni social science.

Beasiswa inilah yang memisahkan diriku dengan Sakura. Kami sudah berteman sejak kita kuliah di satu kampus di Depok. Aku kakak kelasnya satu tahun. Aku masuk jurusan filsafat dan dia mengambil jurusan antropologi. Dua bidang studi yang jarang dilirik dan diminati para mahasiswa. Kata orang, kedua jurusan itu tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Mendingan kuliah di fakultas ekonomi. Toh, ekonomi menjadi sesuatu yang fundamental di arus Photobucketperekonomian global saat ini. Apalagi filsafat terkesan ilmu mengawang-awang. Sebagian menilai jurusan filsafat adalah tempat buangan mahasiswa yang kepandaiannya rata-rata. Sebagian menganggap kelas filsafat sebagai kumpulan orang-orang gila yang ingin lari dari kenyataan hidup. Ah, peduli amat dengan itu.

Relasi kami berdua semakin dekat lantaran kami suka mengadakan diskusi bulanan di wisma mahasiswa. Lagi-lagi, kegiatan yang tidak disukai mahasiswa. Bahkan, dia sendiri yang mempromosikan diskusi bulanan itu di seantero kampus. Temperamennya keras, tepatnya pekerja keras. Memang sih, dia suka marah bila ada yang tidak disiplin atau aku tidak menepati janji padanya. Ah, dia lebih tepat sebagai seorang prefeksionis. Segala sesuatu ingin ia kerjakan dengan sempurna. Single fighter. Nol kesalahan. Ia seperti orang yang dididik dalam kehidupan yang keras. Tak hanya itu, semangat belajarnya luar biasa. Inilah yang membuatku semakin lama semakin dekat dengan dirinya.

Obrolan demi obrolan semakin membuat kami seperti sepasang kekasih. Tapi, kami tidak pernah pacaran. Tidak ada kata-kata cinta yang terlempar dari mulut kami. Dan tidak ada niat sama sekali untuk berpacaran. Tapi, orang-orang kampus mengira kami berpacaran. Setiap kami bertemu dan berduaan di tepi danau di dalam pekarangan kampus, orang mengira kami pacaran. Setiap kami berduaan di sebuah kedai kopi dan ditemani capuccino kesukaan kami, orang mengira kami berpacaran. Padahal, kami lagi mengobrol tentang hidup. Tentang dunia, tentang realitas, tentang perang, tentang terorisme, tentang kapitalisme, tentang Tuhan, tentang nasib, tentang secangkir cappucinno, tentang senja, dan sebagainya. Kami senantiasa mengobrolkan apa saja yang sudah kami peroleh dari bangku kuliah dan membaca buku. Kami ingin membuat semuanya menjadi jelas, sejelas bintang-bintang yang terpaku di dinding langit.

Orang lain sering menilai obrolan kami berat. O, aku tahu sekarang. Karena itu, orang enggan bergabung dengan kami. Entah dalam diskusi di wisma mahasiswa, di tepi danau, maupun di kedai kopi. Makanya, kami sering tampak berduaan. Padahal, kami selalu welcome pada siapa saja. Yah, demikianlah kami. Obrolan-obrolan kami semakin mendekatkan kami. Tapi, kami tidak berpacaran karena kami juga tidak ada niat untuk berpacaran. Kami juga bukan penjelmaan sepasang cinta filsuf Martin Heidegger dan Hanah Arendt seperti dikatakan seorang kawan dalam ledekannya. Kami bukan lakon dari bukunya Elzbietta Ettinger tentang perselingkuhan dua pemikir raksasa itu.

Arendt, seorang mahasiswi berumur belasan tahun terkagum-kagum pada seorang profesornya bernama Heidegger. Ia dijuluki Sang Penyihir dari Messkirch karena gaya mengajarnya yang memukau. Sang Profesor pun tersihir oleh kepandaian Arendt. Relasi cinta yang tebalut rapi dalam diskusi-diskusi akademis itu berpuncak pada apa yang disebut orang perselingkuhan. Uh, inilah ejekan buat aku dan Sakura. Keberduaan kami sering diledek dengan menyamakan kami dengan pasangan kekasih filsuf itu. Yang jelas, kami bukan Heidegger-Arendt karena kami tidak berselingkuh. Kami tidak pernah berpacaran.

Masing-masing dari kami juga tidak memunyai pacar. Nah, bagaimana kami bisa berselingkuh? Ha ha, sebuah ejekan yang tidak berdasar. Tak jarang, orang sering buru-buru menyimpulkan berdasarkan sampul dan permukaannya saja.

Bunga-bunga Sakura tidak berhenti berjatuhan dari langit. Keabadian dan rahmat seakan dicurahkan saat itu juga. Aku masih melanjutkan menulis suratku. Apa yang kutulis ini terpacu oleh obrolan siang hari di sebuah kedai kopi di daerah Warung Buncit, Jakarta Selatan tahun lalu. Ingatan ini muncul saat mata kepala dan mata hatiku melihat hujan bunga Sakura di musim semi ini.

WAKTU itu, kami berbicara agak personal. Tentang keluarga. Kami mengawalinya dengan perbincangan tentang arti sebuah nama dan mengapa orangtua memberi nama seperti yang kami kenakan sampai sekarang. Pada momen inilah, aku baru tahu apa arti Sakura. Mulai saat itu juga, aku tahu bahwa sahabatku ini sedang mengalami pergulatan. Ia mencari ibunya yang raib ditelan waktu.

Sakura lahir dari pasangan beda Negara. Ayahnya berasal dari Solo, Jawa Tengah dan ibunya berasal dari wilayah dekat bandara Narita, Jepang. Ibunya meninggal saat melahirkan bayi Sakura. Ayahnya kemudian menamainya Sakura karena ia lahir bulan Maret, bulan di mana bunga Sakura di Jepang sedang bersemi. Selain itu, nama ‘Sakura’ diberi untuk mengenang istrinya yang juga manyandang nama Sakura. Dari rahim Sakura lahirlah Sakura. Sayangnya, ibu Sakura tidak bisa melihat Sakura yang sudah mekar di usia dewasanya. Dan Sakura sekarang belum pernah merasakan pelukan, air susu, dan ciuman dari Sakura yang melahirkannya.

“Mengapa aku tidak pernah melihat ibuku? Aku tidak lahir dari ketiadaan. Ibuku ada dan kemudian aku ada. Aku juga dilahirkan bukan tanpa dikehendaki. Tapi, aku tidak pernah diajak kompromi kalau aku dilahirkan. Aku lahir bebas dari ketidakbebasan. Aku begitu saja dilemparkan dan terpelanting di bumi. Tanpa pernah melihat wajah si empunya rahim yang melahirkanku. Tanpa mendengar dengus napasnya saat ia menimangku,” kata Sakura saat itu.

Aku hanya bisa diam. Membiarkan dirinya bermonolog dengan dirinya sendiri dalam balutan sunyi. Aku mematung untuk sementara waktu.

“Aku yakin, ibuku sebenarnya tidak pernah mati. Ia juga lahir bukan dari ketiadaan. Ia ada dan ada itu abadi. Entah kapan, pasti aku akan menemui orang yang memunyai rahim tempat aku dilahirkan,” kata Sakura.

Nah, kata-kata itulah yang mendorong aku ingin menulis surat padanya di musim semi ini. Tiga hari lalu, aku menjumpai ibunya duduk di bawah pohon Sakura di Taman Inogashira, Kota Musashino. Benar kata Sakura, ibunya tidak mati. Tiga hari lalu aku menjumpainya. Ini bukan mimpi. Bukan pula fatamorgana.

Perempuan itu amat cantik. Putih. Anggun. Tubuh moleknya dibalut kimono putih yang disebut Shiromuku, artinya suci. Rambutnya disanggul dan dihiasi dengan pernak-pernik perhiasan. Kepalanya ditutupi Kakushi, kerudung putih. Dilihat dari sosoknya, dia berumur sekitar 40 tahunan. Saat kutatap wajahnya, aku merasa sudah sangat familiar. Ya, wajah itu pernah kulihat di foto yang senantiasa ditaruh di dompetnya Sakura.

“Ohayo-Gozaimasu,” sapaan pagiku padanya sambil mendekat. Ia diam. Aku ulangi memberi salam. Perempuan itu diam saja. Sesekali bunga-bunga Sakura menghamburkan diri ke tubuh molek itu. Mengelus pelan. Tapi, ia tetap tidak bergeming. Tak lama, suara isak pecah dari bibir merahnya. Jeda pun raib. Aku mendekat. Leleran air bening dari dua bola matanya itu menyisakan jejak di pipi lesungnya yang diolesi make-up.

“Mengapa ibu menangis?” tanyaku.

Perempuan itu diam saja. Tangannya terus mengusap matanya dengan sapu tangan warna kuning. Aku bingung. Aku melihat wajahnya seolah terbalut duka yang dalam. Bunga-bunga sakura masih setia mengusap-usap tubuhnya sebelum terkulai lemah di tanah.

“Ada yang bisa aku bantu?” Perempuan itu mengangkat kepala. Ia mendengar ucapanku. Matanya yang becek memandangiku lemah. “Aku mencari anakku. Anakku sudah lama hilang. Aku ingin sekali menggendongnya. Menimangnya tiap malam. Menyusuinya di kala haus. Aku mencari anakku. Puluhan tahun aku mencarinya,” katanya.

Aku setia mendengarkan. Mereka-reka apa yang ia maksud. “Dua puluh tahun silam, aku melahirkan bayi perempuan. Tapi, malam telah merenggut kebahagiaanku. Sembilan bulan sepuluh hari, aku menantinya. Tapi, malam itu sangat kejam. Ia menunjukkan cakar dan moncongnya. Sungguh mengerikan. Ia telah merebut bayiku. Malam telah memisahkanku dari buah cintaku. Aku meronta, tapi tidak ada yang menolong. Aku teriak tapi tidak ada yang mendengar. Semua bisu. Semua tertunduk lesu. Seorang menggendong bayiku dengan air mata berleleran di pipi. Seorang perawat berpakaian putih menutupi tubuhku dengan kain seprei. Semua terdiam. Dan malam telah memisahkan aku dengan anakku. Wajah suamiku tampak pucat pasi. Aku dengar suara keluar dari mulut lelaki yang aku cintai itu menyebut namaku: Sakura. Ia terus-menyebut namaku. Dan ia pun menamai bayi itu dengan namaku. Tapi, di mana anakku. Malam itu betul-betul jahanam,” kata perempuan itu sambil tersedu.

Aku semakin tak mengerti dengan apa yang aku lihat. Dia menyebut nama Sakura temanku. Ia mencari anaknya yang bernama Sakura. Sakura pernah bercerita bahwa ia memunyai ibu bernama Sakura. Ibunya sudah meninggal saat ia dilahirkan. Benarkah perempuan di bawah pohon sakura itu adalah ibunya. Dan kawanku yang ada di Jakarta itu adalah anaknya?

Aku sempat menanyakan peristiwa unik pada orangtua di sana. Katanya, musim semi bunga Sakura adalah musim keramat bagi masyarakat Jepang. Di musim semi itu, cinta yang berbajukan keabadian itu akan diturunkan di bumi Matahari Terbit. Cinta yang abadi turun bersama Sakura yang tidak abadi. Namun, cinta yang abadi itu telah mengubah Sakura menjadi abadi.

Lalu, siapa perempuan berkimono putih dan duduk di bawah pohon Sakura itu? Kata orangtua, perempuan itu pencari cinta. Ia adalah roh yang haus akan cinta. Roh yang mengembara ke belantara alam raya untuk mendapatkan cintanya lagi. Ia bisa kelihatan hanya pada setiap musim semi Sakura tiba. Ia hadir bersama bunga-bunga Sakura. Ia bisa ditemui di bawah pohon Sakura di Musashino.

Ia terus tersedu sampai ia mendapatkan cintanya lagi. Dan ia akan abadi saat ia bertemu dengan buah cintanya. Keabadian tercipta saat Sakura berjumpa dengan Sakura di bawah pohon Sakura. Keabadian yang tidak akan hancur dan dihancurkan. Termasuk malam-malam jahanam.

Aku biarkan telingaku mendengar cerita dari orangtua itu. Dengan rendah hati, kutanggalkan Photobucketsejenak pikiran-pikiran rasional. Aku mencoba mendengarkannya dengan hati. Ini bukan mimpi. Ini kenyataan. Hatiku kembali terangkat untuk segera menyelesaikan surat. Aku harus segera mengirim surat ini pada Sakura di Jakarta. Mengabarkan bahwa ibunya ada di Jepang. Dan ia bisa menemuinya setiap musim Sakura tiba.

Taman kota semakin sunyi. Desir angin semakin pelan. Lampu-lampu taman sudah mulai menyala. Malam sebentar lagi tiba. Masih tampak satu dua bunga sakura menjatuhi taman. Aku harus cepat-cepat menyelesaikan suratku.

STRATEGI MENULIS BUKU

STRATEGI MENULIS BUKU
Naning Pranoto

“…saya dengar ada yang mengeluh, menulis itu pekerjaan berat. Tetapi menulis adalah kesenangan terbesar dalam hidup saya dan itu hanya kematian yang dapat mengakhirimnya.”

(Ernest Hemingway)

Pengantar

Menulis buku yang ideal adalah bila hal itu dilakukan karena murni dorongan kata hati. Maksudnya, menulis buku bukan karena dipaksa oleh pihak-pihak tertentu di bawah ancaman atau karena terpaksa menjalankan tugas untuk menghindari suatu sanksi (tidak mendapat gelar) dan semacamnya. Bila keterpaksaan itu terjadi, maka buku yang ditulisnya dapat dipastikan kualitasnya diragukan. Baik itu kualitas cara penulisannya maupun isinya karena tidak dilandasi spirit, visi, misi dan tanggung-jawab moral.

Idealnya, buku yang baik (apa pun jenisnya fiksi maupun non fiksi) seharusnya mengandung nilai-nilai luhur, bervisi dan bermisi yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral atau akademis sehingga bermanfaat bagi pembacanya. Manfaat itu antara lain meliputi: pengembangan wawasan, pengkayaan buah pikiran, memberi inspirasi dan motivasi hal-hal positif/untuk kemajuan, memancing opini (yang bersifat meningkatkan IQ) dan mengasah kepekaan (EI) atau paling tidak memberi hiburan yang sehat. Oleh karena itu, untuk bisa menulis buku ideal perlu berbagai pembekalan materi yang memadai(sesuai dengan tujuannya), pemikiran dan analisis yang dalam, konsentrasi khusus pada saat menulis dan tahu kemana saja arahnya buku yang ditulis tersebut disebarluaskan.

Buku, selain merupakan produk ilmiah, juga produk industri. Karena itu, buku harus dirancang agar punya pasar yang baik, mulai dari bentuk fisik, bahasa dan isinya.

Mulai Dengan Berbagai Pertanyaan

Cikal bakal buku adalah kitab-kitab yang menjadi sumber ajaran agama, moral dan pengetahuan bagi manusia, antara lain Al-Qur’an, Al Kitab dan Wedha. Semuanya ditulis dengan bahasa yang sangat indah dan sarat makna, seindah dan penuh makna isi yang ada di dalamnya. Karena kita tahu, buku-buku tersebut adalah karya Yang Maha Kuasa dan MahaAgung.

Dalam perkembangannya, manusia mampu menulis buku, diperkirakan sejak tahun 3000 Sebelum Masehi. Buku yang ditulisnya antara lain berisi mantera dan semacam obat atau jamu untuk keselamatan dan kesehatan, ilmu alam/ilmu bumi untuk kenyamanan dan pertahanan hidup serta serba-serbi boga termasuk aphrodisiac (perangsang nafsu birahi) untuk kesenangan dan kenikmatan. Kemudian berkembang, penulisan buku menjadi meningkat ragamnya, sesuai dengan perkembangan zaman yaitu di bidang matematika, fisika, sejarah serta sastra (sastra yang semula dilisankan kemudian ditulis). Yang jelas, semuanya itu dianggap sebagai sumber berbagai ilmu pengetahuan karena penulisnya memang bervisi dan bermisi demikian. Maka muncullah pepatah, buku gudangnya ilmu, buku jendela dunia.

Berdasarkan fakta tersebut di atas, maka siapa pun yang akan menulis buku, sebaiknya bertindak arif. Yaitu, sebelum menulis buku mulailah dengan pertanyaan dan jawab lah pertanyaaan yang ada dengan jujur. Maka jawaban-jawaban tersebut akan menentukan buku yang akan kita tulis.

Pertanyaan-pertanyaan yang dimaksud antara lain:
1.Mengapa kita menulis buku?
2.Untuk siapa (pembaca) buku yang akan kita tulis?
3.Jenis buku apa yang akan kita tulis?
4.Berapa lama kita akan menulis (target waktu)?
5.Seperti apa perwajahan, tata-letak dan penampilan buku?
6.Penerbit mana yang kiranya akan jadi mitra kita (mau menerbitkan karya kita)?
7.Kegiatan apa saja yang akan dilakukan untuk memasarkan dan mempromosikan buku yang akan terbit?
8.Acara peluncuran seperti apa untuk ‘merayakan’ terbitkanya buku?

Semua pertanyaan tersebut perlu dijawab dengan seksama, jujur dilandasi pertimbangan pemikiran bahwa apa yang kita inginkan (menulis) buku harus tercapai dan buku tersebut dibaca oleh pembaca yang kita targetkan. Artinya, naskah yang kita tulis diterbitkan menjadi buku, kemudian didistribusikan dengan baik disertai pemasaran dan promosi yang memadai. Paling tidak, pada saat buku terbit diadakan acara peluncuran. Sehingga buku kita bisa sampai ke sasarannya seperti apa yang kita harapkan. Karena dalam kenyataannya (berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya), tidak semua buku yang telah diterbitkan (walau bagus) dipasarkan dan dipromosikan oleh penerbitnya. yang memadai. Bahkan tidak ada acara peluncuran, sehingga buku yang berkualitas baik pun menjadi kurang dikenal atau bahkan tidak diketahui oleh pembaca sama sekali. Ini jelas, mengakibatkan kekecewaan kita sebagai penulis.

Jalan keluarnya, untuk mengatasi timbulnya kekecewaan tersebut, penulis buku Change – Rheinald Kasali memberi tips bahwa penulis harus mampu mempromosikan karyanya melalui berbagai acara yang diciptakannya sendiri. Misalnya, berusaha meluncurkan buku (atas biaya sendiri atau bekerjasama dengan sponsor), menyelenggarakan temu pembaca, seminar, siaran di radio dan sebagainya. Dengan demikian, bukunya dapat dibaca oleh pembaca yang ditargetkan oleh si penulis. Dari berbagai kegiatan ini penulis akan mendapat kepuasan, paling tidak secara batin dan apalagi kalau mendapat uang.

Dari Percept ke Concept dan Menjadi Text

Buku apa pun yang kita tulis, yang benar adalah bermula dari idea, menjadi percept (anggapan/pendapat) lalu berkembang jadi concept diwujudkan menjadi text atau naskah. Semuanya itu dapat terwujud karena adanya media utama yaitu bahasa yang merupakan perpanjangan otak (buah pikiran) untuk menyampaikan atau mengekspresikan konsep menjadi tulisan/teks. Bahasa dalam konteks ini berfungsi sebagai alat komunikasi dan informasi, yang disebut bahasa kedua (bahasa pertama adalah bahasa lisan) – demikian pendapat Robert K. Logan, ahli bahasa dan ahli fisika dari Universitas Toronto – Kanada.

Sebagai bahasa kedua, media untuk menulis, maka bahasa yang kita pergunakan untuk menulis ada standard dan ketentuan-ketentuannya. Ini tergantung, jenis buku apa yang akan kita tulis: fiksi atau non-fiksi? Jenis tulisan fiksi bermacam-macam dari yang bernilai sastra hingga pop. Demikian juga tulisan non-fiksi, ada yang bersifat pop dan ilmiah pop maupun ilmiah murni. Jenis-jenis tulisan tersebut menggunakan media bahasa yang berbeda. Kunci utamanya, setiap penulis harus kaya akan kosa kata dan menguasai betul bahasa tersebut sehingga dalam proses menulis tidak mengalami hambatan.

Tahapan Penulisan dan Menjadi A Home Career Tahap ini merupakan proses kreatif dari seorang penulis. Kekreativannya dimulai dengan pada saat merencanakan menulis buku. Di AS maupun di Eropa pada saat ini, bila seseorang berniat menulis buku ditafsirkan akan menjalani kehidupan ‘sangat kreatif’ karena mampu:

•Bekerja di rumah
•Menjadi a home career (berkarir di rumah – biasanya orang berkarir selama ini identik dengan orang yang selalu sibuk di luar rumah)
•Menjadi direktur dan sekaligus manager bagi dirinya sendiri
•Bagi kaum muda masih bisa melanjutkan studinjya sebagai pelajar atau mahasiswa
•Memposisikan dirinya sebagai penulis profesional
•Mendulang uang dari buah kesendirian, mau berpikir dan memperkaya pengetahuan (membaca)
•Menjual ide melalui Strategic Thinking untuk menghadapi persaingan

Bukan bermakssud menyombongkan diri, saya telah menjalani hidup sebagai a home career sejak tahun 80-an, dengan menggantungkan matapencaharian dari menulis.

Apakah Anda juga mau memposisikan diri sebagai a home career dengan menulis buku? Bila jawabannya ‘yes’ atau masih ‘do not know’ - keduanya perlu mempersiapkan diri untuk menulis buku sebaik mungkin.

Berikut ini langkah-langkah persiapan untuk menulis buku:

1.Perencanaan
2.Persiapan materi
3.Proses penulisan
4.Editing (Penyuntingan): isi dan bahasa
5.Koreksi

Penjarannya:
menentukan jenis tulisan: Fiksi atauà•Perencanaan Non-fiksi
Fiksi bersumber dari imajinasi, pengamalamanà•Persiapan materi hidup, pengalaman orang lain yang memberi inspirasi, bacaan dan sebagainya. Non-fiksi materinya bersumber dari fakta (penelitian lapangan atau literatur, laporan ilmiah, peristiwa, eksperimen dan sebagainya)
•Proses menulis: sesuai dengan perencanaan semula.à-Penulisan Judul (Kepala Tulisan/Karangan) Judul penting, sebagai pedoman isi tulisan (kecuali fiksi, judul bisa diganti-ganti)
untuk buku ilmiahà-Penulisan Isi (Tubuh Tulisan/Karangan) (non-fiksi) diperlukan kelengkapan selain Daftar Isi juga: Sambutan, Kata Pengantar, Daftar Pustaka, Daftar Indeks, Catatan Kaki, Kolofon dan sebagainya (akan diberi contohnya)
Daftar Isi, Catatan Kaki (bilaà-Untuk buku fiksi perlu)
•Editing
editing ini sangat penting untuk mencapaià-Isi tulisan editing ini sangatàkualitas tulisan fiksi maupun non-fiksi -Editing bahasa penting sebab menentukan kualitas isi buku yaitu bahasa harus komunikatif, etis dan enak dibaca. Bahasa sebagai media untuk menulis buku juga memerlukan kelengkapan tanda baca yang tepat dan akurat.
semua naskah yangà•Koreksi akan diterbitkan menjadi buku memerlukan koreksi, tanpa kecuali. Kesalahan biasanya meliputi:
ini terjadi sejak tulisan masih berbentukà-Salah tulis naskah (kesalahan dilakukan oleh penulis)
ini terjadi dalamà-Salah cetak proses pencetakan (Bukan kesalahan penulis)

Pendalaman Tentang Teks

Teks atau text (dalam bahasa Inggris) berasal dari kata tekto (bahasa Yunani) yang berarti weaving (bahasa Inggris) yaitu menenun atau menganyam. Maka apa pun hasil karya tulis kita, makalah atau buku adalah merupakan teks.

1.Teks (karya tulis) bisa disebut teks apabila ia bisa dipahami oleh pembaca.
2.Teks bisa disebut teks apabila ia menyampaikan arti (makna) atau isi yang mengandung nilai-nilai (ilmiah atau sastra)
3.Teks harus disampaikan melalui bahasa. Karena itu penguasaan bahasa sangat menentukan arti teks yang kita tulis.

Teks-teks yang dimaksud tersebut tidaklah selalu murni dari pemikiran kita melainkan bisa saja diambil (dikutip) dari teks karya penulis di luar kita. Seperti dikatakan oleh Yulia Kristeva (filsuf, ahli teori bahasa, sastra dan psikoanalisa ) bahwa suatu teks itu merupakan mosaic dari teks-teks lainnya. Jadi sebuah teks itu tidak tertutup oleh system dan tidak berada dalam kesendirian. Maka bisa diragukan kebenarannya jika ada penulis yang mengatakan, “Tulisan saya asli pemikiran saya ….!” Padahal yang benar, ia terpengaruh oleh teks-teks yang pernah dibacanya. Pengaruh ini bukan berarti menjiplak atau meniru.

Berikut ini pengerian teks hubungannya dengan teks-teks lainnya:

1.Intertekstualitas adalah hubungan satu teks dengan teks lain.
2.Apa pun teks yang kita hasilkan, pastilah punya hubungan atau bersinggungan dengan teks karya orang lain (terdahulu).
3.Pada dasarnya selalu berlaku pepatah lama: Tak ada yang baru di bawah sinar matahari (nothing new under the sunshine)
4.Berkaitan dengan Butir 3, itu berarti bahwa teks yang Anda tulis selalu tidak lepas dari pemikiran orang lain.
5.Dalam penulisan ilmiah (academic writing), merujuk pendapat orang lain, memerlukan etika, dengan menyebut sumbernya.
6.Keterpengaruhan adalah salah satu bentuk intertekstualitas.
7.Contoh-contoh:
-Teks-teks karya ilmiah tentang filsafat:
TeksàPostmodernisme berkaitan dengan modernisme. -Psikologi Lacan (Jacques) berkaitan dengan teks Psikoanalisis Sigmund Frued.
à-Ekonomi Marxian berhubungan dengan karya Thomas Malthus, David Ricardo, Adam Smith dan sebagainya.
Karya Kenzaburo terkait dengan karya-karya J.P. Sartreà-Fiksi

Daftar Pustaka

Buku
Logan, Robert K, 1995. The Fifth Language. Toronto: Stoddart
Macey, David, 2001. The Penguin Dictionary of Critical Theory. England: Penguin Books
Mintzbergm, Henry, 1994. Rise and Fall of Strategic Planning. England: Free Press
Thompson, John.B, 2005. Filsafat Bahasa dan Hermeneutik (Penerjemah Dr. Abdullah Khozin Afandi). Surabaya: Visi Humanika.

Website
www.jjhome.com: How to Write A Book For Profit?
www.qm2management.com: Strategic Thinking

KELEMAHAN KARYA-KARYA MASA KINI

KELEMAHAN KARYA-KARYA MASA KINI
Oleh Sides Sudyarto DS

Dengan terbukanya kebebasan mencipta, kita menyaksikan membanjirnya tulisan-tulisan dalam berbagai media massa, juga yang terbit dalam bentuk buku. Lembaga penerbitan buku juga tumbuh menjamur di mana-mana. Gejala seperti itu mungkin membesarkan hati kita. Tetapi apakah dengan demikian kesusasteraan kita mengalami kemanjuan atau perkembangan yang berarti?

Ternyata tidak demikian. Kebebasan memang penting, bahkan cenderung menentukan.Tetapi ternyata kebebasan mencipta saja tidak cukup. Untuk menciptakan karya yang bernilai juga memerlukan kedalaman dan keluasan wawasan, selain daya kreativitas yang tinggi.

Hingga kini karya sastra kita masih terpuruk. Di gelanggang internasional, sastra kita belum bisa bicara apa-apa. Beberapa kali terbit antologi sastra dunia, karya penulis kita tidak ada yang ikut termuat di dalamnya. Dalam hal ini kita kalah oleh penulis dari Palestina dan Papua Nugini. Selain perlu disayangkan tentu perlu juga kenyataan seperti itu jadi renungan bersama.

Kita tidak bisa bicara hanya soal kuantitas. Masalah kualitas karya selamanya merupakan hal yang terpenting sepanjang kita bicara seni sastra. Pada mulanya, kata sastra memang berarti tulisan atau karya tertulis. Namun tidak setiap karya tertulis adalah karya sastra. Samalah halnya, tidak setiap novel adalah karya sastra. Sekarang ini kebanyakan yang terbit adalah karya tulis, tetapi tidak banyak yang berkualifikasi karya sastra.

Sastra, atau tepatnya susastra, memerlukan kekayaan kandungan nilai-nilai. Pada umumnya nilai-nilai filsafat dan agama merupakan ramuan yang sangat penting untuk setiap karya sastra. Tanpa kandungan nilai-nilai filosofis dan religius, sastra bukanlah sastra, tidak lebih dari seonggok teks yang gagu dan hampa. Aneh rasanya, jika masih banyak penulis bersmangat, tetapi menjauhi nilai-nilai reliji dan filosofi.

Meskipun demikian kita tidak bisa mengatakan bahwa tiap karya yang syarat nilai-nilai agama atau filsafat pastilah sebuah karya sastra yang berhasil. Dengan kata lain, tidak dengan sendirinya seorang ahli agama atau ahli filsafat adalah sastrawan.

Mungkin sudah kodrat sastra, harus mengacu kepada filsafat. Jika tidak yang terjadi hanyalah teks yang tergolong karya pop saja. Sayangnya terlalu banhyak penulis kita yang tidak atau belum tertarik kepada filsafat. Maka janganlah heran jika yang kini membanjir adalah karya-karya pop.

Kejadian seperti itu tampaknya akan berjalan terus, dalam kurun waktu yang akan cukup panjang. Itu dimungkinkan, karena tidak adanya seleksi terhadap karya-karya yang akan diterbitkan. Pertama, karena setiap penulis bisa saja menerbitkan karyanya sendiri, tanpa lewat saringan tertentu. Kedua, kita memang sedang tidak punya kritikus sastra yang berwibawa dan professional. Krisis kritikus sastra? Katakanlah demikian.

Tentu sangat menyedihkan (juga memalukan), sikap penulis tertentu yang sangat naïf terhadap kritik. Ada penulis yang memandang peran kritikus sama dengan benalu. Katanya, jika tidak ada karya, maka tidak ada kritik. Maka kritikus pun akan kenhilangan pekerjaan, jika tidak ada karya yang bisa dikritik. Bahkan ada sastrawan ternama, ketika karyanya dikritik, naik pitam. Dari mulutnya yang sering bernada tasawuf, berhamburan makian bagaikan orang sedang mabuk alcohol.

Bagaimana dengan sastra koran dan sastra majalah? Pemuatan di media tentu melalui tangan-tangan redaktur. Tetapi tidak banyak redaktur yang memiliki kapasitas dan cita rasa sastra yang unggul, setidaknya memadai. Dengan demikian banyaknya karya-karya yang beredar lewat media massa tidak pernah mampu mendongkrak kualitas sastra kita selama ini. Jangan pula lupa, bahwa koran atau majalah adalah komoditi yang tidak lepas dari spirit industri.

Tetapi bagaimanapun kualitas karya sastra ditentukan terutama oleh mutu sastrawannya itu sendiri. Sayangnya, terlalu banyak penulis kita, yang terlalu minim pengetahuannya tentang sastra itu sendiri. Masih banyak penulis yang idak paham,misalnya,apa beda cerita dengan plot. Cerita, sebenarnya hanya merupakan bahan mentah (raw material) dari sebuah karya. Apabila cerita itu telah diolah melalui reka cipta, barulah ia menjadi plot karya yang bersangkutan.

Kelemahan lain, kebanyakan penulis kita adalah dalam penggunaan bahasa. Mereka berniat menulis karya sastra, tetapi bahasa yang digunakan adalah bahasa harian, bahasa biasa, bukan bahasa literer. Kebanyakan karya-karya mereka juga hanya menyuguhkan cerita seadanya (bahan mentah), belum diolah menjadi plot.

Kita memang perlu bicara seni, termasuk seni fiksi. Sayang tidak sedikit orang yang menyuguhkan fiksi, tetapi bukan seni fiksi. Tidak sedikit, penulis, yang untuk menutupi kelemahan (karyanya) lalu melakukan berbagai upaya yang tidak relevan.Misalnya dengan menyuguhkan hal-hal yang berbau pornografis. Ada juga yang menjadikan bumbu politik, atau peristiwa politik, sebagai warna tulisannya.

Tentu saja sastra politik juga sah-sah saja. Masalahnya, yang terjadi di sini, politik tampil sebagai polusi. Berbeda dengan dalam umumnya sastra Amerika Latin, di mana politik hadir sebagai tulang punggung estetika.

Salah paham masyarakat tampaknya tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Misalnya adanya mitos sastra exil atau sastra kiri. Sebenarnya apa yang selama ini disebut sebagai sastra kiri, kebanyakan sama sekali bukan karya sastra. Jika disimak dan diuji, ternyata tidak lebih dari teks-teks yang sangat sloganistis. Dan sastra tentu berbeda dengan slogan.

Apa yang ditulis Widji Tukul, misalnya, bukanlah karya sastra, melainkan slogan untuk menyemangati ‘perjuangan’ golongan tertentu. Apa yang ditulis WS Rendra (almarhum) di bawah judul Potret Pembangunan, tentu saja juga bukan karya sastra, melainkan pamplet politik belaka.

Ada baiknya jika kita menyimak pendapat Guillermo Cabrera Infante, sastrawan dan sineas kelahiran Cuba. Infante menilai, penulis mashur seperti George Orwell, Alexander Solzhenytsin, Albert Camus, adalah orang-orang yang gagal untuk jadi seniman atau sastrawan. Tetapi mereka adalah pahlawan, karena “melawan pedang dengan kata-kata”. Demikian pun, itu tidak menjadikan mereka sastrawan. ***

Tulisan Yang Baik dan Seni Menulis Cepat

Tulisan Yang Baik dan Seni Menulis Cepat http://www.rayakultura.net/images/icons/wm_star.gifhttp://www.rayakultura.net/images/icons/wm_star.gifhttp://www.rayakultura.net/images/icons/wm_star.gifhttp://www.rayakultura.net/images/icons/wm_star.gif
Oleh Naning Pranoto *

Pendahuluan

Good writing is purposeful, its says something and says it correctly
Good writing has “voice and “energy
Good writing is thoughtful and thought provoking
Good writing communicates an important message clearly to intended audience
Good writing expresses the writer self honestly and evokes a personal response in the reader

(Christopher C. Burnham)

Pernyataan di atas hanyalah merupakan sebagian dari penilaian bobot tulisan yang baik, antara lain: bermisi, menyuarakan sesuatu (kebenaran) dan memompakan semangat, mengajak pembaca berpikir dan bertindak, mengkomunikasikan pesan yang jelas di samping mengekspresikan pendapat/pemikiran penulis mengenai sesuatu hal yang akan mengundang respon/reaksi pembacanya.. Bagi kita, deretan bobot tersebut harus ditambah dengan kata: laku dijual Elaris (selling well). Sebab, kita menulis untuk tujuan suatu industri yaitu bermisi (75%) ‘making moneyE Bahkan kalau mungkin, tulisan kita bisa dijadikan ‘money machineE(mesin uang), mengapa tidak?. Sebab, kita menulis untuk majalah komersil. Saya pernah menjalaninya selama delapan tahun, ketika saya bekerja di Majalah Wanita “KartiniEdan kemudian memimpin Majalah “Jakarta-JakartaE Tetapi saya melihat, bagaimana pun, Majalah “TrubusEmasih mengemban misi idealis. Saya mengenal “TrubusEsejak tahun 1976 Eketika penampilannya masih ‘sangat luguE(tidak semewah sekarang ini) dan terbit (kalau tidak salah) bulanan. Sekarang, “TrubusEmenjadi majalah mingguan..

Menulis Cepat

Menjadi penulis untuk sebuah majalah mingguan dituntut mampu menulis cepat, walau tidak seberat wartawan sebuah harian. Cepat di sini dalam arti tidak bisa bersantai-santai menunggu ‘in the good-moodE apalagi menanti datangnya inspirasi. Yang diwajibkan adalah: berpikir dan bertindak cepat dan tepat (akurat). Sebab akan tidak bermanfaat apabila bertindak cepat tetapi tidak tepat (salah/tidak akurat). Kesalahan dalam menulis untuk mass media-cetak (majalah, koran atau tabloid) akan menimbulkan kerugian antara lain:

(1) Memberi informasi yang salah kepada pembaca;
(2) Menurunkan bobot majalah dan (3) Bila fatal akan mengakibatkan polemik (mengundang pro dan kontra).

Ketiga faktor ini biasanya membuat manajemen resah, karena akan merugikan kinerja perusahaan.

Oleh karena itu, agar bisa menulis secara cepat dan tepat, diperlukan strategi proses menulis yang sistematis dan dinamis. Strategi ini bisa ditempuh melalui:

1.Merumuskan dahulu (dengan masak-masak) materi tulisan yang akan ditulis/digarap, sesuai dengan hasil rapat redaksi (tentunya menarik untuk pembaca dan punya selling point tinggi)

2.Mendata point-point materi yang akan ditulis melalui: membaca literature, survei/riset lapangan, mencari narasumber (wawancara) dan eksperimen (bila diperlukan)

3.Penjabaran point-point Butir 2
4.Menganalisis materi yang akan ditulis
5.Menulis, termasuk mengedit disesuaikan dengan jatah kolom/halaman yang akan memuat tulisan yang digarap

Proses Menulis Cepat

Materi yang bisa ditulis cepat pada umumnya berupa reportase dan artikel yang sifatnya informasi (bukan esei). Maka dari itu, artikel yang ditulis:

1.Benar-benar informatif membawa pesan jelas (komplit).
2.Sebagai daya tarik tulisan itu haruslah mampu menyuarakan/menyampaikan sesuatu yang diperlukan pembaca.
3.Cara atau gaya penyampaiannya bersifat provokasi (dalam arti positif).
4.Media untuk menyampaikannya adalah bahasa yang sesuai dengan misi majalah dan sasaran pembacanya. Majalah “TrubusE adalah majalah spesifik walau tidak terlalu segmented. Tentunya, bahasa yang dipergunakan tidak sama dengan bahasa untuk majalah berita (politik). Demikian pula jargon-jargonnya.

Seseorang mampu menulis dengan cepat dan tepat apabila yang bersangkutan menguasai tiga hal yaitu: <> 1.Memahami materi yang akan ditulisnya
2.Menguasai bahasa yang dipergunakan untuk menuliskan materi
3.Disiplin (mentaati dead-line).
Tanpa ketiga hal tersebut di atas, menulis cepat dan tepat akan sulit diwujudkan.

Mereka yang tidak sanggup akan merasa stress atau bekerja dalam tekanan. Akibatnya, kepala jadi pusing, perut mual dan kadang jadi pemarah dan ini akan menganggu rekan-rekannya produktif. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan tersebut, setiap orang yang ingin bisa menulis cepat hendaknya melakukan aktivitas yang sifatnya membantu kelancaran menulis yaitu dengan:

1.Banyak pembaca literature yang ada kaitannya dengan materi-materi yang akan ditulis
2.Terus menerus memperkaya kosa-kosa dari sumber berbagai bacaan dan rajin membaca kamus, khususnya kamus spesial yang ada kaitannya dengan misi majalah yang digarapnya. Misalnya, untuk menulis di Majalah “TrubusEperlu banyak membaca Kamus Biologi, Pertanian dan sejenisnya (maaf saya tidak begitu paham). Juga, menguasai istilah asing untuk nama-nama flora dan fauna.
3.Tidak suka menunda pekerjaan. Sebab, mereka yang suka menunda pekerjaan biasanya menjadi ‘malasEmenulis.
4.Taati deadline dengan cara bekerja tepat waktu dan mengurangi banyak bicara dengan rekan-rekan sekitar
5.Banyak praktik menulis untuk mengasah daya pikir dan ketrampilan proses menulis.
6.Temukan jam produktif menulis bagi diri masing-masing. Saya pribadi (setelah menjadi penulis lepas), biasa menulis produktif mulai pukul 03.00 (dini hari) sampai pukul 10.00, kemudian tidur sepanjang hari. Mulai produktif lagi pada pukul 16.00 E22.00, tetapi saya pergunakan untuk membaca. Di sela-sela membaca saya suka telepon teman atau SMS sebagai selingan/hiburan. Bila sepanjang hari ada acara, saya menulis hanya dari pukul 03.00 E06.00. Di perjalanan saya suka membaca, sampai berjam-jam dan sampai di rumah (kalau tidak lelah) saya menulis.
7.Melakukan kegiatan menulis dengan semboyan writing for fun bukan menganggap writing is burden. Saya pribadi punya semboyan writing is paradise. Saya beranggapan demikian karena saya sangat mencintai dunia menulis sepertihalnya saya sangat suka membaca.

Menulis dalam Kepala

Saya mendapat istilah ‘menulis dalam kepalaEketika belajar creative writing di Australia. Proses ini disebut mapping-mind. ‘Menulis dalam kepalaE(MDK) menurut pengalaman saya sangat cocok diterapkan oleh mereka yang dituntut menulis cepat. Hal ini ditegaskan oleh pengalaman Gary Provost yang menulis buku laris berjudul 100 Ways To Improve Your Writing.

Gary Provost mantan wartawan harian terkemuka di AS, kemudian menjadi wartawan lepas karena berambisi menulis buku (yang memerlukan waktu banyak untuk memcari bahan dan menulis) tentang pengalamannya sebagai wartawan. Ia menegaskan, hanya orang-orang yang bisa menulis cepat dan tepat yang bisa menjadi wartawan dan penulis yang baik dan produktif. Salah satu resepnya untuk menjadi penulis cepat dan tepat adalah melakukan MDK. Ini bisa dilakukan di mana saja, termasuk di perjalanan sambil mengemudi mobil. Asalkan, dilakukan dengan tanpa tekanan, tanpa beban, sehingga menyenangkan (termasuk tidak menganggu konsentrasi mengemudi mobil).

MDK bisa dilakukan dengan lancar apabila yang menjalankannya dengan senang, rileks dan menganggap itu suatu kebutuhan hidup. Maka dari itu, meskipun tidak sedang di depan mesin tulis, maka berlaku/bertindak seperti sedang di depan mesin tulis. Yang dilakukan antara lain:

1.Membuat/menentukan judul
2.Menentukan plot tulisan
3.Menganalisa hal-hal yang perlu ditonjolkan dalam tulisan
4.Membuat kesimpulan
5.Memikirkan strukur
6.Mereka-reka gaya bahasa
7.Memikirkan panjang tulisan

Ketujuh unsur ini bila digarap matang, maka begitu berada di depan mesin tulis langsung bisa on (menulis). Pengalaman saya, menulis beberapa buku saya selesaikan melalui MDK dalam perjalanan saya yang panjang (kebetulan saya suka traveling) dan pada saat-saat saya menikmati suatu pemandangan atau duduk-duduk sambil makan (saya kebetulan suka makan dan menikmati pemandangan indah Ekhususnya laut, pegunungan dan langit). Tempat-tempat tersebut bagi saya sangat inspiratif.

Menghadapi Blocking

Kegiatan menulis adalah aktivitas yang terdiri lima rangkaian yaitu:

1.Menggunakan pikiran (konsentrasi tinggi)
2.Mengimplementasikan pengetahuan
3.Suasana hati indah (good feelings/in the good mood)
4.Kondisi tubuh yang fit
5.Tempat kerja yang nyaman

Bila kelima unsur tersebut terpenuhi, proses menulis biasanya berjalan lancar. Sayangnya, keadaan tidak selalu bisa demikian ideal. Banyak hal yang membuat kelima t unsur itu tidak bisa menyertai pada waktu kita menulis. Akibatnya, terjadi blocking Eproses menulis tiba-tiba mandeg. Blocking disebut pula ‘mampetE sehingga sulit menulis.

Bagi penulis lepas, terjadinya blocking bisa ditolerir. Tetapi akan menjadi masalah bila seorang penulis tetap/wartawan di sebuah mass-media sering mengalami blocking. Tentu ia akan dicap ‘tidak produktifEsebagai pengganti sebutan malas. Bahkan bila sudah keterlaluan sangat mungkin diberhentikan.

Bagaimana pun, terjadinya blocking sifatnya alami (tidak dibuat-buat). Jadi, bagi yang sedang mengalami blocking hendaknya jangan disalah-salahkan atau dimarahi-marahi. Yang perlu dilakukan adalah mencari jalan keluar untuk membebaskan diri dari jeratan kemampetan tersebut, antara lain:
2.Lupakan atau singkirkan hal-hal yang membuat Anda merasa ‘mampetE(membuat pikiran terganggu).
3.Tarik nafas sebentar, sambil jalan-jalan melemaskan otot atau ngobrol sejenak dengan teman. Atau, mungkin minum secangkir kopi?
4.Bila ruangan/tempat kerja penyebab mampet, pindahkan mesin tulis Anda ke ruangan yang lebih baik/mendukung proses menulis
5.Bila penyebabnya kekurangan bahan, cepat-cepat membaca (mencari pelengkapnya)
6.Bila penyebabnya tubuh kurang sehat, ini yang sulit diatasi. Oleh karena itu bila Anda telah memutuskan menjadi penulis/wartawan tetap hendaknya pandai-pandai menjaga kesehatan.
7.Bila penyebabnya merasa ‘tidak in the moodEatau sedang bad mood hal itu harus diusir jauh-jauh karena Anda dituntut untuk senantisa in the good mood. Anda bekerja mengejar argo deadline. Bila Anda tidak mampu mengejar maka akan ketinggalan, berarti gagal. Dampaknya, diberhentikan.
8.Memacu diri agar tetap menulis

Agar Tetap In The Mood

Agar tetap in the mood sebagai penulis cepat, maka perlu memposisikan diri sebagai penulis yang produktif. Maksudnya, penulis yang mampu menulis sesuai dengan tugas yang diberikan. Kuncinya, harus senantiasa memposisikan diri di track penulis cepat dengan bekal:

1.Terus mengembangkan dan memperluas wawasan pengetahuan yang diperlukan untuk menulis cepat. Cara yang paling baik adalah membaca buku-buku yang ada kaitannya dengan materi tersebut.
2.Banyak bergaul (mingle) dengan para pakar dan praktisi yang ada kaitannya dengan Butir 1, agar dapat menghasilkan karya yang menarik (disukai pembaca)
3.Meningkatkan kemampuan menulis (berikut editing) melalui praktik k menulis dan membaca tulisan penulis senior yang Anda anggap baik (idola)
4.Meningkatkan kemampuan penguasaan bahasa (multi bahasa) untuk memperkuat gaya penulisan
5.Mau menerima kritik, saran dan pelatihan-pelatihan penulisan (writing-workshop)
6. Menjaga kesehatan secara optimal agar tahan menulis berjam-jam atau menulis dalam kondisi tekanan (dikejar dealine).
7.Jangan jemu-jemu ber-MDK

Selamat menulis cepat.

Daftar Pustaka
Burham, Christopher C, 1996. Writing From Inside Out. Orlando-Florida: Harcourt Brace Jovanovich Publishers.
Peter, Pam, 1990. The Macquarie File Writers Guide. Queensland: Jacaranda Press
Pranoto, Naning, 2004. Creative Writing E72 Seni Mengarang. Jakarta: Primamedia Pustaka
Provost, Gary, 1985. 100 Ways To Improve Your Writing. New York: Penguin Book
Warriner, John E, 1977. Advance Composition: A Book of Models for Writing. Orlando-Florida: Harcourt Barce Jovanovich Publishers

*) Naning Pranoto adalah novelis dan juga Dosen FSIP (Hubungan Internasional EChinese Studies) dan Fak. Sastra untuk Mata Kuliah Academic Writing dan Creative Writing . Selain itu ia aktif sebagai pengasuh Website www.rayakultura.net, Ketua Garda Budaya a.l. penyelenggara Creatitve Writing dan Academic Writing Workshop untuk umum.

*) Alamat Garda Budaya, Jalan Gunung Pancar No.25 EBukit Golf Hijau, Bukit Sentul, Bogor 16810. Telepon/Fax (021) 87960940, E-mail: garda_budindo@yahoo.co.uk

* ** Akan dipresentasikan pada Acara Workshop Majalah Trubus, 20 Agustus 2005 di Hotel Salak - Bogor